Bab I
Pendahuluan
1.1Latar
belakang permasalahan
Konsep pemerintahan
memiliki dua arti, yakni dalam arti luas dan sempit. Pemerintah dalam arti luas
adalah kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh badan eksekutif, legislatif dan
yudikatif serta kepolisian dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan. Sedangkan
dalam arti sempit adalah kegiatan-kegiatan memerintah yang dilakukan oleh badan
eksekutif guna mencapai tujuan pemerintahan.[1]
Secara umum,pengertian sistem pemerintahan itu
terkait dengan sistem politik, mengingat sistem politik
berkaitan: (a) sistem pemerintahan (b) sistem kekuasaan yang mengatur hubungan
antara individu-individu atau kelompok-kelompok individu satu dengan lainnya
dan dengan negara serta hubungan negara dengan negara. Sejalan dengan itu
Wahyu, (2008) mengemukakan bahwa sistem pemerintahan adalah suatu kebulatan
atau keseluruhan yang utuh dari pemerintahan, sedangkan komponen-komponen itu
adalah legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang masing-masing komponen
tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
Sistem
pemerintahan dalam arti luas merupakan suatu kesatuan utuh dalam menjalankan
pemerintahan sesuai dengan wewenang badan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk
mencapai tujuan pemerintahan. Sedangkan sistem pemerintahan dalam arti sempit
merupakan suatu kesatuan utuh dalam menjalankan pemerintahan oleh badan
eksekutif untuk mencapai tujuan pemerintahan.
Hubungan sipil-militer di setiap negara
berbeda satu sama lain karena adanya perbedaan latar belakang perkembangan
bangsa, bentuk negara, ideologi dan falsafah negara, dan budaya bangsa. Di Indonesia misalnya,hubungan sipil-militer di era 1945-1998 ,
merupakan salah satu varian subjective civilian control dari model Samuel P
Huntington. Namun, hubungan sipil militer di Indonesia mengalami pasang-surut
sejalan dengan sikap politik penguasa pemerintah, sikap dan soliditas kaum
militer pada periode yang bersangkutan.
Jenis hubungan sipil-militer bervariasi mencerminkan ideologi politik,
orientasi-orientasi, dan struktur organisasi modern. Dwifungsi ABRI merupakan
salah satu doktrin dasar bagi ABRI dalam melaksanakan tugasnya khususnya yang
berkaitan dengan pelaksanaan hubungan sipil-militer.Dwifungsi ABRI memperoleh
roh dan semangatnya pada 'masa gerilya' antara Desember 1948 sampai Juli 1949,
di mana saat itu TNI bersama PDRI di Bukit tinggi mempertahankan keberadaan
Republik yang masih muda.[2]
1.2
Masalah atau
pokok permasalahan
Selanjutnya, dalam perjalanannya berkembang
menjadi beberapa bentuk pemerintahan, sejarah mencatat banyak negara yang
memiliki bentuk pemerintahan yang berbeda-beda karena hal tersebut berdasar
kepada para penguasa negara tersebut. Dalam konteks ini muncul bentuk
pemerintahan sipil dan pemerintahan militer. Tentu saja kedua bentuk
pemerintahan tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda.Begitu juga dengan
Negara Indonesia.
1.3
Tujuan
penulisan makalah
Dengan berdasar kepada permasalahan diatas, maka penulis
mempunyai tujuan dalam penulisan makalah ini, yaitu :
1. Memahami pengertian dan ciri pemerintahan sipil
2. Memahami pengertian dan ciri pemerintahan militer
3. Memahami hubungan antara pemerintahan sipil dan
militer dalam Negara Indonesia
Bab II
Pembahasan
2.1 Deskripsi
lokus
Pemerintahan sipil adalah pemerintahan di
mana gaya pengambilan keputusan diambil dengan gaya sipil.
Sebelum sebuah keputusan menjadi perintah, keputusan itu dibicarakan
terlebih dahulu, dirembukkan dan kalau perlu diputuskan lewat pemungutan
suara (referendum). Setelah itu pun sebuah keputusan harus menunggu
pengesahan terlebih dahulu dari lembaga negara yang berwenang lewat sebuah
sidang.[3]
Ciri dari pemerintahan sipil adalah sebuah
pemerintahan yang bergaya sipil, semua keputusan pemerintah dapat menjadi
perintah apabila telah dimusyawarahkan terlebih dahulu dan diambil keputusannya
dalam suatu pemungutan suara (referendum) serta telah mendapat pengesahan dari
lembaga negara yang berwenang.
Pemerintahan militer adalah pemerintahan
yang lebih mengutamakan kecepatan pengambilan keputusan, keputusan
diambil oleh pucuk pimpinan tertinggi, sedang yang lainnya
mengikuti keputusan itu sebagai perintah yang wajib diikuti -- konsekuensi
rantai komando dalam militer. Sebuah undang-undang dalam
sebuah pemerintahan militer dibuat oleh pucuk pimpinan tertinggi,
tanpa menyerahkan rancangannya kepada parlemen.
Adapun
ciri dari pemerintahan militer adalah bertangan besi,apa yang diperintah atasan selalu benar
dan harus dilaksanakan. represif,jika
tidak melaksanakan tugas yang diberikan oleh pangkat yang tertinggi, maka akan
mendapat hukuman. sentralistik
(komando terpusat) dan anti demokrasi dan dipegang oleh petinggi militer.Selain
itu para petinggi maupun bawahannya dituntut untuk selalu disiplin yang
berlebihan dan lebih suka mengikuti uacara-upacara yang formal daripada
musyawarah mufakat.[4]
Hubungan antara pemerintahan militer dengan pemerintahan sipil di indonesia
diawali dengan munculnya Supersemar pada
tanggal 11 Maret 1966, Soekarno dengan ikhlas memberi Jenderal Soeharto
wewenang yang diperlukan untuk memulihkan keamanan. Soekarno yang pada saat itu
dianggap sebagai presiden seumur hidup kini nyaris hanya merupakan lambang,
sampai secara resmi digantikan oleh Jenderal Soeharto pada tanggal 27 Maret
1968.
Setelah menjadi Presiden, Soeharto memandang tugasnya
adalah : memulihkan tingkat partisipasi rakyat dalam pemerintahan, menstabilkan
negeri yang secara politis terpecah belah, dan membangun perekonomian yang
telah diabaikan. Maka untuk mendukung upaya tersebut Soeharto memutuskan untuk membentuk GOLKAR
(Golongan Karya) atau kelompok yang fungsional, mencakup buruh, petani,
birokrat sipil, birokrat militer, mahasiswa, dan intelegensia. Jika Soekarno
ingin mengusahakan agar kelompok-kelompok fungsional tersebut terlepas dari
militer, maka Soeharto lebih suka mengintergrasikan kedua badan tersebut, dalam
kata lain Soeharto telah menyertakan militer dalam politik sembari memberi
fungsi politik pada militer.[5]
Sejak tahun 1959, menurut suatu penelitian,
perwira-perwira angkatan darat secara kasar telah memegang seperempat dari
semua portofolio kabinet maupun berbagai posisi penting pada departemen
pemerintahan sipil. Pada tahun 1972, 22 dari 26 Gubernur adalah bekas perwira
militer, demikian juga 67% dari bupati dan camat, dan 40% dari kepala desa.
Hal itu dapat disimpulkan bahwa sepak
terjang tentara (individu dan institusi)dengan dwi fungsi ABRI, tentara tak
hanya diam di barak (sebagai alat pertahanan), tapi juga merambah ke politik
praktis. Sesuatu yang memberi keleluasaan pada militer untuk merambah
sektor-sektor yang dikuasai sipil.
Masuk ke Era Reformasi, setelah lengsernya Soeharto,
maka kedigdayaan Militer dalam hal ini ABRI/TNI telah usai, Sejak itu nyaris tiada hari
tanpa hujatan dan caci maki terhadap ABRI. Jika sebelumnya tidak ada yang
berani mengusik, sejak itu keberadaan ABRI mulai banyak dipersoalkan. ABRI
bukan cuma dipersalahkan, karena telah membuat banyak orang di Aceh, Lampung,
Tanjung Priok, Irian Jaya, Timor Timur, kehilangan anggota keluarganya, tetapi
juga karena terlibat penculikan para mahasiswa dan aktivis politik, karena
dianggap tidak mampu lagi mengatasi kerusuhan di berbagai tempat yang telah
menelan korban ratusan nyawa sejak Mei 1998.[6]
Saat ini
ABRI harus menghadapi kenyataan sebaliknya yakni penolakan atas
keterlibatannya. Secara historis keterlibatan ABRI tersebut harus dipahami
dalam kerangka menjamin stabilitas nasional.
2.2 Landasan teori
CF Strong dalam bukunya
yang berjudul Modern Political Construction terbit tahun 1960
dikemukakan bahwa pemerintah itu dalam arti luas meliputi kekuasaan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Pemerintah juga bertugas memelihara perdamaian dan
keamanan. Oleh karena itu pemerintah harus memiliki (1) kekuasaan militer, (2)
kekuasaan legislatif, dan (3) kekuasaan keuangan.[3]
Sedangkan
menurut SE Filner dalam buku Comperative Gonverment (1974)
istilah pemerintahan memiliki 4 arti yaitu :
1.
kegiatan atau proses memerintah
2.
masalah-masalah kenegaraan
3.
pejabat yang dibebani tugas untuk
memerintah
4. cara, metode, atau sistem yang dipakai
pemerintah untuk memerintah.[4]
Adapun bentuk pemerintahan
sipil menurut Eric Nordlinger dalam
bukunya “MiliterdalamPolitik”dikemukakan:
1. Pemerintahan sipil Tradisional
1. Pemerintahan sipil Tradisional
Bentuk
pemerintahan sipil ini terjadi karena tidak adanya perbedaan antara sipil dan
militer, tanpa perbedaan maka tidak akan timbul konflik yang serius diantara
mereka. dengan demikian tidak terjadi campur
tangan militer.
2.
Pemerintahan sipil Liberal Model
pemerintahan liberal didasarkan pada pemisahan para elit berkenaan keahlian dan
tanggung jawab masing-masing pemegang jabatan tinggi di dalam pemerintahan.
Tapi sejalan Model liberal akan menutup kemungkinan militer untuk menekuni
arena dan kegiatan politik
3. Pemerintahan sipil Serapan
3. Pemerintahan sipil Serapan
Dalam
model serapan ini, pemerintahan sipil memperoleh pengabdian dan kesetiaan
dengan cara menanamkan ide untuk menyatakan ideologi, dan para ahli politik ke
dalam tubuh angkatan bersenjata mereka.
Menurut Jenderal
Wiranto, ada tiga perkembangan ekstrem yang harus dicegah dalah hubungan
sipil militer di Indonesia, yaitu: pertama, military overreach,
yaitu militer menguasai berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti pada masa
orde baru; yang kedua, subjective civilian control, yaitu
kontrol subyektif pemerintahan sipil terhadap militer seperti yang terjadi pada
masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Parlementer; ketiga, pemisahan rakyat
dari ABRI.
2.3 Analisis
Sejak awal kelahirannya ABRI tidak pernah mempersoalkan presiden dari
kalangan sipil dan tidak mendesakkan tampilnya pimpinan nasional dari kalangan
militer. Dalam sejarahnya Panglima Besar Soedirman memberikan keteladanan dalam
membentuk sikap TNI yang mengakui pemerintahan di tangan sipil. Untuk itu
dibuktikan oleh Panglima Besar Soedirman ketika kembali ke Yogyakarta dari
medan perjuangan bergerilya, TNI tetap mengakui kekuasaan tertinggi berada di
tangan Presiden Soekarno.[7]
Dunia kemiliteran telah berkembang menjadi dunia
profesional, yang bekerja dan mengembangkan solidaritas tidak hanya atas dasar
"semangat patriotisme" tapi atas dasar penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta ketrampilan khusus (profesi) yang terkait dengan
kependidikan.[8]
Tanggung jawabnya terhadap eksistensi bangsa dan negara Indonesia, dengan
demikian, bisa ditafsirkan sebagai tanggung jawab profesi. Kalau dulu
tanggung jawab ini ditafsirkan secara politis-ideologis, kini perlu dimaknai
sebagai tanggung jawab profesional. Kalau dulu ABRI di identifikasi dan dikenal
sebagai tentara rakyat kini harus tampil sebagai militer profesional (TNI
adalah tentara professional yang mengabdi kepada rakyat).
Militer bukan lah institusi
untuk merintis karier politik dan meraih insentif ekonomi melalui model
kekaryaan. Jika ada militer yang ingin menjadi bupati, gubernur, menteri bahkan
presiden, maka harus melepas jaket
hijau-lorengnya.
Bab III
Penutup
A.
Kesimpulan
Ternyata pembagian bentuk pemerintahan militer dengan
pemerintahan sipil ini terletak
pada kriteria gaya dan sifat
memerintah sebuah pemerintah. Pemerintahan Sipil adalah suatu bentuk pemerintahan
yang menggunakan gaya sipil dalam menjalankan kehidupan pemerintahannya,
sedangkan pemerintahan militer adalah suatu pemerintahan yang dipimpin oleh
penguasa diktator yang mengandalkan gaya militer yang sarat dengan disiplin dan
kental dengan ketentaraan.
Hubungan antara Sipil dan Militer pada saat ini adalah ketika semua hal
dihadapkan kepada profesionalisme yang menitikberatkan sejauhmana peran seorang
warga negara terhadap negaranya, maka militer memfokuskan diri dalam ranahnya
sendiri, demikian pula dengan sipil yang terintegrasi dalam bentuk lebih
dinamis. Sehingga tidak akan terjadi supremasi sipil terhadap militer.
B.
Saran
Pergulatan bentuk pemerintahan militer dan sipil sudah terjadi
pada masa orde baru, dan itu menimbulkan kekhawatiran di berbagai kalangan,
serta menimbulkan efek yang luar biasa negatifnya bagi bangsa Indonesia.Maka
sudah seharusnya tidak mengulanginya lagi dan melangkah maju menuju ke
perubahan yang positif,menuju masyarakat pancasila dengan rakyatnya yang makmur
dan sejahtera.
PEMERINTAHAN MILITER PRESIDEN SOEHARTO
Daftar Pustaka
Ubaedillah, Ahmad, Pendidikan
Kewarganegaraan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Widiyanti, Ninik, YW.
Sunindia, Kepemimpinan Dalam Masyarakat Modern,Jakarta: Bina
Aksara, 1988
Wirahadikusumah, Agus, E-book Mencari
Format Baru Hubungan -Militer,
Janowitz, Morri, Hubungan
Sipil Militer,Jakarta: Bina Aksara, 1985
Nordlinger, Eric, Militer
Dalam Politik, Jakarta: Rineka Cipta, 1994
Syarafuddin, Makalah
Konsep Dan Metodologi Perbandingan Pemerintahan, 2010
http:
//www.detik.com/berita/199905/sayidiman. Html
Sipil-Militer" Jurusan Ilmu Politik Fisip
UI, 24 - 25 Mei 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar